April 18, 2025

Forever 21 Adalah Pelopor Fashion Cepat. Itu Tidak Cukup Cepat.

Forever 21, yang pernah menjadi pemain dominan di industri fashion cepat, adalah merek yang membentuk cara dunia mendekati pakaian trendi yang terjangkau. Didirikan pada tahun 1984 oleh imigran Korea Selatan Do Won Chang dan Jin Sook Chang di Los Angeles, merek ini berkembang pesat, menjadi identik dengan gerakan fashion cepat. Selama beberapa dekade, ia menarik perhatian pembeli muda dengan penawaran yang murah dan trendy yang diperbarui dengan kecepatan yang mengagumkan. Namun, meskipun mengalami kesuksesan awal, kegagalan Forever 21 untuk beradaptasi dengan dinamika pasar yang berubah pada akhirnya menyebabkan penurunannya.

Sebuah Kebangkitan Bersejarah dalam Fashion Cepat

Sejak awal, Forever 21 memposisikan dirinya sebagai pengecer yang berfokus pada tren, memanfaatkan keinginan untuk pakaian fashion dengan harga yang terjangkau. Merek ini menjadi terkenal dengan estetika “murah tetapi chic”, menyajikan desain terinspirasi runway terbaru kepada konsumen dengan kecepatan kilat. Saat model fashion cepat semakin populer, Forever 21 menjadi salah satu pelopor, bersama dengan perusahaan seperti HandM dan Zara.

Pada pertengahan 2000-an, Forever 21 telah berkembang secara internasional, memiliki ratusan toko di seluruh dunia. Di puncaknya, itu telah menjadi tujuan utama bagi remaja dan dewasa muda yang ingin mengikuti perkembangan mode, dengan produk baru yang masuk ke toko hampir setiap hari. Harga yang terjangkau dan aliran barang baru yang konstan membuat pelanggan kembali untuk lebih, seringkali beberapa kali dalam seminggu.

Landskap Ritel yang Berubah

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, Forever 21 mendapati dirinya berjuang untuk mengikuti perubahan lanskap mode yang selalu berkembang. Meningkatnya belanja online, pengaruh media sosial yang semakin besar, dan pergeseran preferensi konsumen menuju mode yang lebih berkelanjutan semua berkontribusi pada masalah yang dihadapi merek ini.

Pada pertengahan 2010-an, industri fashion cepat itu sendiri mulai menghadapi kritik yang semakin meningkat. Ketika kekhawatiran mengenai dampak lingkungan dari produksi massal, limbah, dan praktik kerja yang eksploitatif meningkat, konsumen mulai mempertanyakan kebiasaan belanja mereka. Kesadaran baru ini bertabrakan dengan model bisnis Forever 21, yang dibangun di atas penjualan dalam jumlah besar pakaian murah dengan waktu putar yang cepat.

Secara bersamaan, raksasa e-commerce seperti Amazon dan startup fashion baru yang lebih gesit seperti Shein memanfaatkan permintaan yang meningkat untuk pakaian terjangkau, menawarkan pilihan yang lebih luas dan pengiriman yang lebih cepat. Pengecer online dapat menjangkau konsumen secara langsung, seringkali tanpa biaya overhead yang terkait dengan toko fisik, dan mereka dapat bereaksi lebih cepat terhadap tren. Saat lanskap ritel berubah, Forever 21 berjuang untuk bertransisi ke era digital.

Transformasi Digital yang Terlewatkan

Sementara merek seperti Zara dan HandM berhasil mengintegrasikan e-commerce dengan mulus ke dalam model bisnis mereka, Forever 21 lambat untuk beradaptasi dengan pergeseran digital. Kurangnya investasi merek ini dalam pengalaman belanja online, lambatnya adopsi platform mobile, dan kegagalan untuk berinovasi di ranah digital menjadikannya berada dalam posisi yang kurang menguntungkan. Saat konsumen mulai mengutamakan kenyamanan dan pengiriman yang cepat, kehadiran online Forever 21 yang tertinggal membuatnya semakin tidak relevan.
Selain itu, toko fisik merek tersebut—yang dulunya menjadi bagian penting dari daya tariknya—mulai terasa ketinggalan zaman dan tidak selaras dengan preferensi pembeli modern. Perusahaan terjebak dalam siklus membuka lokasi baru untuk memperluas jangkauannya tanpa berhasil memodernisasi ruang yang ada atau meningkatkan pengalaman pelanggan. Kombinasi perluasan ritel tanpa inovasi ini, ditambah dengan strategi online yang lamban, terbukti menjadi resep untuk bencana.

Kejatuhan dan Kebangkrutan

Pada tahun 2019, Forever 21 mengajukan kebangkrutan Bab 11, dengan alasan penurunan pengunjung ke mal dan kegagalan untuk beradaptasi dengan perubahan perilaku konsumen. Perusahaan menutup ratusan toko di seluruh dunia dan berjuang untuk merestrukturisasi operasinya. Pengajuan kebangkrutan ini menandai perubahan tajam bagi merek yang dulunya tampak tak terhentikan.

Meskipun Forever 21 berusaha untuk bangkit kembali dengan memfokuskan pada basis pelanggan intinya dan memangkas biaya, ia tidak dapat lolos dari arus pergeseran mode ritel. Dalam tahun-tahun berikutnya, merek tersebut terus bergulat dengan identitasnya, dengan melakukan rebranding dirinya sebagai perusahaan yang lebih inklusif dan cerdas digital. Namun, upaya tersebut tidak cukup untuk mengembalikannya ke masa kejayaannya yang sebelumnya.

Saat ini, Forever 21 ada dalam kapasitas yang lebih terbatas, masih menawarkan pakaian terjangkau tetapi tanpa dominasi pasar yang sama seperti dulu. Perusahaan telah beralih ke model yang berfokus pada online, mengandalkan platform e-commerce-nya dan kemitraan terpilih dengan department store seperti Kohl’s untuk mempertahankan kehadirannya.

Model Fast Fashion: Ombak yang Berubah

Penurunan Forever 21 adalah kisah peringatan bagi industri fast fashion secara keseluruhan. Dorongan global menuju keberlanjutan, kekhawatiran yang berkembang tentang produksi etis, dan dampak perdagangan digital telah menciptakan tantangan baru bagi pengecer fast fashion tradisional. Sementara beberapa merek telah berhasil menavigasi perubahan ini—dengan fokus pada keberlanjutan atau berinvestasi dalam e-commerce—Forever 21 gagal beradaptasi cukup cepat untuk mempertahankan keunggulan kompetitifnya.

Kenaikan pasar resale, mode berkelanjutan, dan keinginan akan barang berkualitas lebih tinggi dengan harga yang lebih baik telah mengubah harapan generasi muda. Banyak konsumen sekarang memandang pakaian sekali pakai yang diproduksi secara massal sebagai sesuatu yang ketinggalan zaman, lebih memilih opsi yang lebih berkelanjutan dan berinvestasi dalam barang yang lebih tahan lama.

Akhir dari Sebuah Era?

Perjalanan Forever 21 dari pelopor ritel ke kisah peringatan menunjukkan betapa cepatnya industri mode dapat berubah. Munculnya e-commerce dan pergeseran nilai-nilai pembeli muda menandai akhir dari sebuah era bagi merek tersebut. Namun, ini juga menawarkan pelajaran berharga bagi pengecer: adaptasi adalah kunci, dan tidak ada merek yang mampu untuk berpuas diri selamanya. Masa depan mode terletak pada pemahaman tidak hanya tentang apa yang diinginkan konsumen hari ini, tetapi juga meramalkan apa yang akan mereka tuntut di masa depan.

Pada akhirnya, kejatuhan Forever 21 dari kejayaannya adalah produk dari ketidakmampuannya untuk mengikuti perkembangan industri yang berubah dengan cepat. Meskipun mungkin tidak pernah mendapatkan kembali dominasi yang pernah dimilikinya, kisah merek ini menjadi pengingat bahwa dalam fast fashion, cukup cepat dapat berarti perbedaan antara sukses dan gagal.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *